HADITS KE-1 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَفِي الْبَحْرِ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُأَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَرَوَاهُ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ Dari Abu Hurairah Radliyallaahu anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda tentang air laut. “Laut itu airnya suci dan mensucikan, bangkainya pun halal.” Dikeluarkan oleh Imam Empat dan Ibnu Syaibah. Lafadh hadits menurut riwayat Ibnu Syaibah dan dianggap shohih oleh Ibnu Khuzaimah dan Tirmidzi. Malik, Syafi’i dan Ahmad juga meriwayatkannya. Derajat Hadits Hadits ini shahih. – At Tirmidzi berkata, “hadits ini hasan shahih, Saya bertanya kepada Imam Bukhari tentang hadits ini, beliau menjawab, “shahih””. – Az Zarqoni berkata di Syarh Al Muwatho’, “Hadits ini merupakan prinsip diantara prinsip-prinsip islam, umat islam telah menerimanya, dan telah dishahihkan oleh sekelompok ulama, diantaranya, Imam Bukhori, Al Hakim, Ibnu Hibban, Ibnul Mandzur, At Thohawi, Al Baghowi, Al Khotthobi, Ibnu Khuzaimah, Ad Daruquthni, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Daqiqil Ied, Ibnu Katsir, Ibnu Hajar, dan selainnya yang melebihi 36 imam. Kosa kata – Kata البَحْر al-bahr /laut adalah selain daratan, yaitu dataran yang luas dan mengandung air asin. – Kata الطَهُوْرُ at-thohur adalah air yang suci substansinya dan dapat mensucikan yang lainnya. – Kata الحِلُّ Al-hillu yaitu halal, kebalikan haram. – Kata مَيْتَتُهُ maitatuhu, yaitu hewan yang tidak disembelih secara syariat. Yang dimaksud di sini adalah hewan yang mati di dalam laut, dan hewan tersebut tidak bisa hidup kecuali di laut, jadi bukan semua yang mati di laut. Faedah Hadits 1. Kesucian air laut bersifat mutlak tanpa ada perincian. Airnya suci substansinya dan dapat mensucikan yang lainnya. Seluruh ulama menyatakan demikian kecuali sebagian kecil yang pendapatnya tidak dapat dianggap. 2. Air laut dapat menghapus hadats besar dan kecil, serta menghilangkan najis yang ada pada tempat yang suci baik pada badan, pakaian, tanah, atau selainnya. 3. Air jika rasanya atau warnanya atau baunya berubah dengan sesuatu yang suci, maka air tersebut tetap dalam keadaan sucinya selama air tersebut masih dalam hakikatnya, sekalipun menjadi sangat asin atau sangat panas atau sangat dingin atau sejenisnya. 4. Bangkai hewan laut halal, dan maksud bangkai di sini adalah hewan yang mati yang tidak bisa hidup kecuali di laut. 5. Hadits ini menunjukkan tidak wajibnya membawa air yang mencukupi untuk bersuci, walaupun dia mampu membawanya, karena para sahabat mengabarkan bahwa mereka membawa sedikit air saja. 6. Sabdanya الطهور ماؤه suci dan mensucikan airnya, dengan alif lam, tidak menafikan kesucian selain air laut, sebab perkataan tersebut sebagai jawaban atas pertanyaan tentang air laut. 7. Keutamaan menambah jawaban dalam fatwa dari suatu pertanyaan, hal ini dilakukan jika orang yang berfatwa menduga bahwa orang yang bertanya tidak mengetahui hukum yang ditambahnya tersebut. 8. Ibnul Arobi berkata, “Merupakan kebaikan dalam berfatwa jika menjawab lebih banyak dari yang ditanyakan kepadanya sebagai penyempurna faedah dan pemberitahuan tentang ilmu yang tidak ditanyakan, dan ditekankan melakukan hal ini ketika adanya kebutuhan ilmu tentang suatu hukum sebagaimana pada hadits ini Rasulullah shallallahu alaihi wa sallammenambah “dan halal bangkainya“, dan ini tidak dianggap membebani si penanya dengan sesuatu yang tidak penting. 9. Imam As Syafi’i berkata, “Hadits ini merupakan setengah dari ilmu tentang bersuci”, Ibnul Mulaqqin berkata, “Hadits ini merupakan hadits yang agung dan prinsip diantara prinsip-prinsip bersuci, yang mencakup hukum-hukum yang banyak dan kaidah-kaidah yang penting”. Perbedaan Pendapat Para Ulama a. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hewan laut tidak halal kecuali ikan dengan seluruh jenisnya, adapun selain ikan yang menyerupai hewan darat, seperti ular laut, anjing laut, babi laut dan lainnya, maka beliau berpendapat tidak halal. b. Pendapat Imam Ahmad yang masyhur adalah halalnya seluruh jenis hewan laut, kecuali katak, ular, dan buaya. Katak dan ular merupakan hewan yang menjijikkan, adapun buaya merupakan hewan bertaring yang digunakannya untuk memangsa c. Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat halalnya seluruh jenis hewan laut tanpa terkecuali, keduanya berdalil dengan firman Allah ta’ala, “Dihalalkan bagi kamu hewan buruan laut” QS Al Maidah 96, dan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam أُحِلَّتْ لنا مَيتَتَانِ الجراد و الحوتُ ”Dihalalkan bagi kita dua bangkai, yaitu belalang dan al huut”. HR. Ahmad dan Ibnu Majah. Di dalam “Kamus” disebutkan bahwa al huutadalah ikan. Juga berdasarkan hadits pada bab ini, الحِلُّمَيْتـَتُهُ halal bangkainya, maka pendapat inilah Imam Malik dan Imam As Syafi’i yang lebih kuat. Sumber Taudihul Ahkam min Bulughil Maromkarya Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Al Bassam. HADITS KE-2 وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌأَخْرَجَهُ الثَّلَاثَةُ وَصَحَّحَهُ أَحْمَد Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda “Sesungguhnya hakekat air adalah suci dan mensucikan, tak ada sesuatu pun yang menajiskannya.” Dikeluarkan oleh Imam Tiga dan dinilai shahih oleh Ahmad. Derajat hadits Hadits ini shahih. – Hadits ini juga dinamakan “hadits bi’ru bidho’ah“. Imam Ahmad berkata, “hadits bi’ru bidho’ah ini shahih”. – Imam At Tirmidzi berkata “hasan”. – Abu Usamah menganggap hadits ini baik. Hadits ini telah diriwayatkan dari Abu Sa’id dan selainnya dengan jalur lain. – Disebutkan di dalam “at Talkhish” bahwa hadits ini dishahihkan oleh Ahmad, Yahya bin Mu’in, dan Ibnu Hazm. – Al-Albani berkata, “periwayat pada sanadnya adalah periwayat Bukhori dan Muslim kecuali Abdullah bin Rofi’. Al Bukhori berkata, “keadaannya majhul”, akan tetapi hadits ini telah dishahihkan oleh imam-imam sebagaimana yang telah disebutkan di atas. – Hadits ini adalah hadits yang masyhur dikenal dan diterima oleh para imam. – Syaikh Shodiq Hasan di kitab Ar-Raudah, “Telah tegak hujjah dengan pen-shahih-an oleh sebagian imam . Telah dishahihkan juga selain yang telah disebutkan di atas oleh Ibnu Hibban, Al Hakim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Taimiyah, dll. Walaupun Ibnul Qothon mencacati hadits ini dengan majhulnya riwayat dari Abu Sa’id, akan tetapi pencacatan oleh satu orang Ibnul Qothon tidak dapat melawan penshahihan oleh imam-imam besar yang telah disebutkan di atas. Kosa Kata – Kata طهور Thohur, artinya suci substansinya dan dapat mensucikan selainnya. – Kata لا ينجسه شيء Laa yunajjisuhu syai-un = tidak ada yang sesuatupun yang dapat menajiskannya. Perkataan ini dimuqoyyad-kan diikat dengan syarat yaitu sesuatu najis tersebut tidak mengubah salah satu dari tiga sifat air, yaitu bau, rasa, dan warna. HADITS KE-3 وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ وَضَعَّفَهُ أَبُو حَاتِمٍ وَلِلْبَيْهَقِيِّالْمَاءُ طَهُورٌ إلَّا إنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ أَوْ طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيهِ Dari Abu Umamah al-Bahily Radliyallaahu anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda “Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya kecuali oleh sesuatu yang dapat merubah bau, rasa atau warnanya.” Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan dianggap lemah oleh Ibnu Hatim. Dalam riwayat Al Baihaqi, “Air ituthohur suci dan mensucikan kecuali jika air tersebut berubah bau, rasa, atau warna oleh najis yang terkena padanya.” Derajat Hadits – Bagian pertama hadits adalah shahih, sedangkan bagian akhirnya adalah dho’if. Ungkapan “Sesungguhnya air tidak ada sesuatupun yang menajiskannya” telah ada dasarnya di hadits bi’ru bidho’ah hadits 2. – Adapun lafadz tambahan “kecuali yang mendominasi mencemari bau, rasa, dan warnanya”, Imam an Nawawi berkata, “para ahli hadits bersepakat atas ke-dho’if-an lafadz ini, karena di dalam isnadnya ada Risydain bin Sa’ad yang disepakati ke-dho’if-an-nya. Akan tetapi, Ibnu Hibban di dalam shahihnya menukil adanya ijma’ ulama untuk mengamalkan maknanya. Shodiq berkata di kitab Ar-Raudhoh, “Para ulama bersepakat terhadap dho’ifnya tambahan ini, akan tetapi ijma’ ulama mengakui kandungan maknanya”. Faedah Hadits 2 dan 3 1. Kedua hadits ini menunjukkan bahwa, secara asal, air adalah suci dan mensucikan, tidak ada sesuatupun yang dapat menajiskannya. 2. Kemutlakan ini dimuqoyyadkan diikat dengan syarat yaitu sesuatu najis tersebut tidak mengubah bau, rasa, atau warna air, jika berubah maka air tersebut ternajisi menjadi najis, baik air tersebut sedikit ataupun banyak. 3. Yang meng-muqoyyad-kan kemutlakan ini adalah ijma’ umat islam bahwa air yang berubah oleh najis, maka air tersebut ternajisi menjadi najis, baik air tersebut sedikit ataupun banyak. Adapun lafadz tambahan yang datang pada hadits Abu Umamah maka itu dho’if, tidak tegak hujjah dengannya, akan tetapi – Imam An-Nawawi berkata, “para ulama telah ijma’ terhadap hukum dari lafadz tambahan ini”. – Ibnu Mundzir berkata, “Para ulama ijma’ bahwa air yang sedikit ataupun banyak jika terkena najis dan mengubah rasa, warna, atau bau air tersebut, maka air tersebut ternajisi menjadi najis. – Ibnul Mulaqqin berkata, “terlepas dari kedhoifan tambahan yang mengecualikan tersebut, ijma’ dapat dijadikan hujjah sebagaimana yang dikatakan oleh Imam As Syafi’i dan Al Baihaqi, dan selain keduanya. Syaikhul Islam berkata, “Apa yang telah menjadi ijma’ oleh kaum muslimin maka itu berdasarkan nash, kami tidak mengetahui satu masalahpun yang telah menjadi ijma’ kaum muslimin tetapi tidak berdasarkan nash. Sumber kitab Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom karya Syaikh Abdullah Al Bassam HADITS KE-4 وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ وَفِي لَفْظٍ لَمْ يَنْجُسْ أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالْحَاكِمُ وَابْنُ حِبَّانَ Dari Abdullah Ibnu Umar Radliyallaahu anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda “Jika banyaknya air telah mencapai dua kullah maka ia tidak mengandung kotoran.” Dalam suatu lafadz hadits “Tidak najis”. Dikeluarkan oleh Imam Empat dan dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Hakim, dan Ibnu Hibban. Derajat hadits Hadits ini shahih, dinamakan juga dengan haditsqullatain dua kullah. Para ulama berbeda pendapat mengenai keshahihan hadits ini, sebagian ulama menghukumi hadits ini dengan syadz nyeleneh pada sanad dan matannya. Syadz pada matannya dari segi bahwa hadist ini tidak, masyhur padahal kandungan hadits ini sangat dibutuhkan, seharusnya dinukil secaramasyhur, namun hal ini tidak. Dan tidak ada yang meriwayatkan hadits ini kecuali Ibnu Umar saja. Adapun segi idhtirob simpang siur pada matan, yaitu adanya sebagian riwayat “jika air mencapai dua kullah”, ada juga “jika air mencapai tiga kullah”, ada juga “jika air mencapai empat puluh kullah”. Ukuran kullahpun tidak diketahui, dan mengandung pengertian yang berbeda-beda. Adapun ulama yang membela hadits ini dan mengamalkannya seperti Imam Asy Syaukani, beliau berkata, “telah dijawab tuduhan idhtirobsimpang siur dari segi sanad bahwa selagi terjaga di seluruh jalur periwayatannya, maka tidak bisa dianggap idhtirob simpang siur, karena hadits tersebut dinukil oleh yang terpercaya kepada yang terpercaya. Al Hafidz berkata, “Hadits ini memiliki jalur periwayatan dari Al Hakim dan sanadnya dikatakan baik oleh Ibnu Ma’in.” Adapun tuduhan idhtirob dari segi matan, maka sesungguhnya riwayat “tiga” itu syadz, riwayat “empat puluh kullah” itu mudhtorib, bahkan dikatakan bahwa kedua riwayat tersebutmaudhu’, dan riwayat “empat puluh” di-dho’ifkan oleh Ad Daruqtni. Syaikh Al Albani berkata, “hadits ini shahih”, diriwayatkan oleh lima imam bersama Ad Darimi, At Thohawi, Ad Daruquthni, Al Hakim, Al Baihaqi, Ath Thoyalisi dengan sanad yang shahih. Ath Thohawi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Adz Dzahabi, An Nawawi, Al Asqolaani menshahihkan hadits ini, dan sikap sebagian ulama yang mencacati hadits ini dengan idhtirob simpang siur tidaklah dapat diterima. Ibnu Taimiyah berkata, “kebanyakan ulama menghasankan hadits ini dan menjadikannya sebagai hujjah dalil, mereka telah membantah perkataan yang mencela hadits ini” Diantara ulama yang menshahihkan hadits ini adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Mandzah, At Thohawi, An Nawawi, Adz Dzahabi, Ibnu Hajar, Asy Suyuthi, Ahmad Syakir, dll. Kosa kata – Kata قلتين qullataini = dua kullah. Dua kullah sama dengan 500 ritl irak, dan 1 ritl irak sama dengan 90 misqol. Dengan takaran kilo, dua kullah sama dengan 200 kg. – Kata لم يحمل الخبث lam yahmil khobats, yaitu tidak dicemari oleh kotoran najis, maknanya adalah air tidak ternajisi dengan masuknya najis ke dalamnya, jika air tersebut mencapai dua kullah. Dikatakan juga bahwa maksudnya adalah air tersebut dapat melarutkan menghilangkan najis yang masuk ke dalamnya, sehingga air tersebut tidak ternajisi. – Kata الخبث khobats adalah najis. Faedah hadits 1. Jika air mencapai dua kullah, maka air tersebut dapat menghilangkan najis dengan sendirinya sehingga najis tidak memberi pengaruh, dan inilah makna tersurat dari hadits tersebut. 2. Dipahami dari hadits tersebut bahwa air yang kurang dari dua qullah, terkadang terkontaminasi oleh najis dengan masuknya najis sehingga air tersebut menjadi ternajisi, tetapi terkadang tidak menjadi ternajisi dengannya. 3. Ternajisi atau tidaknya air bergantung pada ada atau tidaknya zat najis di dalamnya, jika najis tersebut telah hancur dan larut, maka air tersebut tetap pada kesuciannya. Perbedaan pendapat ulama > Imam Abu Hanifah, Asy Syafi’i, dan Ahmad, serta pengikut madzhab mereka, berpendapat bahwa air yang sedikit menjadi ternajisi dengan masuknya najis, walaupun najisnya tidak mengubah sifat air. Sedikitnya air menurut Abu Hanifah adalah air yang jika digerakkan di satu ujung wadahnya, maka ujung lainnya juga ikut bergerak. Adapun sedikitnya air menurut madzhab Syafi’i dan Ahmad Hanabilah adalah air yang kurang dua kullah. > Imam Malik, Az Zhohiriyyah, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, ulama-ulama salafiyah di Nejd, dan para muhaqqiqin berpendapat bahwa air tidak menjadi ternajisi dengan masuknya najis selama salah satu dari tiga sifat air rasa, warna, dan bau tidak berubah. Para ulama yang mengatakan bahwa air dapat ternajisi dengan sekedar masuknya najis berdalil dengan pemahaman hadits Ibnu Umar ini. Pemahamannya menurut mereka bahwa air yang kurang dari dua kullah akan mengandung kotoran [najis]. Di dalam satu riwayat, “jika air mencapai dua kullah, maka tidak ada sesuatupun yang dapat menajiskannya”. Maka pemahamannya bahwa air yang kurang dari dua kullah menjadi ternajisi dengan sekedar masuknya najis, sebagaimana mereka berdalil dengan hadits tentang perintah menumpahkan air pada wadah yang dijilati oleh anjing tanpa memperdulikan tentang perubahan sifat air nya. Hadits qullatain dua kullah tidak bertentangan dengan pendapat Abu Hanifah, sebab air seukuran dua kulah jika diisi dalam suatu wadah, maka air di salah satu ujung wadah tidak bergerak dengan bergeraknya ujung lainnya. Adapun dalil- dalil para ulama yang tidak memandang sebagai air yang ternajisi kecuali dengan perubahan sifat, diantaranya hadits qullataini ini, sesungguhnya makna hadits tersebut adalah air yang mencapai dua kullah tidak ternajisi dengan sekedar masuknya najis, karena air yang mencapai dua kullah tersebut tidak mengandung kotorang [najis] dan dapat menghilangkan najis-najis di dalamnya. Adapun pemahaman hadits tersebut, tidak lazim demikian, sebab terkadang air menjadi ternajisi jika najis mengubah salah satu sifat air, dan terkadang air tidak ternajisi. Sebagaimana mereka juga berdalil dengan hadits tentang menuangkan seember air pada air kencing Arab Badui dan dalil lainnya. Ibnul Qoyyim berkata, “yang dituntut oleh prinsip dasar syariat adalah jika air tidak berubah sifatnya oleh najis maka air tersebut tidak menjadi ternajisi, hal itu karena air tetap dalam sifat alaminya, dan air yang seperti ini termasuk yang thoyyib baik dalam firman Allah, dan dihalalkan bagi mereka yang baik-baik. Ini dapat diqiyaskan terhadap seluruh benda cair, jika terkena najis dan tidak mengubah warna, rasa, dan bau. Sumber Taudhihul Ahkam min Bulughul Marom karya Syaikh Abdullah Al Bassam HADITS KE-5 وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَغْتَسِلْ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ لِلْبُخَارِيِّ لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي لَا يَجْرِي ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ وَلِمُسْلِمٍ مِنْهُ وَلِأَبِي دَاوُد وَلَا يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنْ الْجَنَابَةِ Dari Abu Hurairah Radliyallaahu anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda “Janganlah seseorang di antara kamu mandi dalam air yang tergenang tidak mengalir ketika dalam keadaan junub.” Dikeluarkan oleh Muslim. Menurut Riwayat Imam Bukhari “Janganlah sekali-kali seseorang di antara kamu kencing dalam air tergenang yang tidak mengalir kemudian dia mandi di dalamnya.” Menurut riwayat Muslim dan Abu Dawud “Dan janganlah seseorang mandi junub di dalamnya.” Kosa Kata – Kata الدائم ad daa-im artinya tenang dan diam tidak mengalir – Kata الذي لا يجري alladzi laa yajri = yang tidak mengalir, merupakan penafsiran dari air yang tenang. – Kata جنب junub artinya mengalami janabah, yaitu hadats yang diakibatkan oleh hubungan intim suami-istri atau keluarnya air mani. – Kata منه minhu = darinya, memberikan makna larangan mengambil air bekas dikencingi dari dalam suatu tempat dan mandi di luar tempat tersebut tidak mencebur ke dalamnya. – Kata فيه fiihi = di dalamnya, memberikan makna larangan mencebur masuk ke dalam tempat air bekas dikencingi tersebut. – Kata جنابة janabah adalah sifat bagi orang yang keluar air maninya atau dengan sebab hubungan intim, sampai ia bersuci. Faedah Hadits 1. Larangan mandi janabah di dalam air yang tenang tidak mengalir. 2. Larangan berkonsekuensi haram, maka haram mandi janabah di dalam air yang tenang. 3. Larangan ini mandi janabah di dalam air yang tenang menunjukkan rusaknya sesuatu yang dilarang yaitu rusaknya air bekas mandi janabah. 4. Larangan kencing di dalam air yang tenang, kemudian mandi janabah di dalamnya. 5. Larangan berkonsekuensi haram, maka haram mandi janabah di dalam air yang dikencingi. 6. Larangan ini mandi janabah di dalam air yang dikencingi juga menunjukkan rusaknya yang dilarang yaitu rusaknya air bekas dikencingi dan mandi janabah. 7. Secara zhohir, hadits ini tidak membedakan antara air yang sedikit ataupun banyak. 8. Rusak yang diakibatkan oleh kedua larangan tersebut adalah rusaknya air, karena menjadi kotor dan menjijikkan bagi orang-orang yang akan menggunakannya. Dan akan dijelaskan –insyaAllah- perbedaan pendapat mengenai air musta’mal air bekas digunakan, apakah menggunakannya untuk thoharoh bersuci akan menghasilkan kesucian atau tidak. 9. Larangan dari kencing atau mandi di dalam air yang tenang tidak secara mutlak berdasarkan kesepakatan. Air yang sangat banyak tidak termasuk yang dilarang berdasarkan kesepakatan, dan peng-khusus-an air yang sangat banyak ini dikhususkan oleh ijma’. 10. Imam Ash Shon’ani berkata di Subulus Salam, “yang sesuai dengan kaidah bahasa arab bahwa yang dilarang di dalam hadits adalah menggabungkan kencing kemudian mandi sekaligus, karena kata ثم kemudian tidak memberikan makna sebagaimana yang diberikan oleh wawu athof = dan, kata ثم memberikan makna gabungan dan berurutan kencing kemudian mandi sekaligus di dalam air yang sama. 11. Ibnu Daqiqil Ied berkata, “larangan menggabungkan kencing kemudian mandi diambil dari satu hadits, dan larangan dari masing-masing mandi saja atau kencing saja diambil dari hadits lain” Riwayat-riwayat yang ada di bab ini memberi faedah antara lain – Riwayat Muslim larangan dari mandi dengan mencebur masuk ke dalam air yang tenang, dan larangan mengambil air bekas dikencingi untuk mandi. – Riwayat Bukhori larangan dari kencing kemudian mandi sekaligus di dalam air yang diam tersebut. – Riwayat Abu Dawud larangan dari masing-masing kencing saja atau mandi saja. Dari seluruh riwayat tersebut disimpulkan bahwa seluruhnya terlarang, hal ini karena kencing atau mandi di dalam air yang tenang menyebabkan air kotor dan menjijikkan bagi orang lain meskipun air tidak sampai najis. 12. Keharaman ini juga berlaku untuk buang air besar dan istinja’ mencebok di dalam air yang tenang yang tidak mengalir. 13. Haram merugikan orang lain dan memberikan mudhorot kepada mereka dengan amalan apapun yang tidak diridhoi, yang lebih besar mudhorotnya daripada manfaatnnya. Perbedaan Pendapat Ulama Para ulama berbeda pendapat apakah larangan ini berkonsekuensi haram atau makruh. – Madzhab Malikiyah berpendapat makruh, karena air tetap dalam keadaan suci. – Madzhab Hanabilah dan Zhohiriyyah berpendapat haram. – Sebagian ulama berpendapat haram pada air yang sedikit, dan makruh pada air yang banyak. Secara zhohir, larangan tersebut hukumnya haram baik pada air yang sedikit maupun banyak, meskipun air tidak ternajisi, illah sebab nya adalah karena kotornya air dan menjijikkan bagi orang lain. Peringatan dikecualikan air yang sangat banyak seperti air laut dan danau berdasarkan kesepakatan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Diterjemahkan dari kitab Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom karya Syaikh Abdullah Al Bassamhafizhohullah HADITS KE-6 وَعَنْ رَجُلٍ صَحِبَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَغْتَسِلَ الْمَرْأَةُ بِفَضْلِ الرَّجُلِ أَوْ الرَّجُلُ بِفَضْلِ الْمَرْأَةِ وَلْيَغْتَرِفَا جَمِيعًا أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد وَالنَّسَائِيُّ وَإِسْنَادُهُ صَحِيحٌ Seorang laki-laki yang bersahabat dengan Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam berkata Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam melarang perempuan mandi dari sisa air laki-laki atau laki-laki dari sisa air perempuan, namun hendaklah keduanya menyiduk mengambil air bersama-sama.” Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i, dan sanadnya benar. Derajat hadits Hadits ini shahih. Asy Syaukani berkata yang ringkasnya, “Al Baihaqi menyatakan hadits ini mursal, dan Ibnu Hazm menyatakan bahwa Dawud meriwayatkannya dari Hamid bin Abdirrahman Al Himyari yang dhoif. An Nawawi berkata, “para Hafidz sepakat atas kedhoifan hadits ini”. Ini adalah sisi celaan. Adapun yang men-tsiqoh-annya. At- Tirmidzi berkata, “hadits ini hasan”. Ibnu Majah berkata, “hadits ini shahih”. Ibnu Hajar berkata di dalam Fathul Bari, “sungguh An Nawawi telah asing ketika menyatakan ijma’ atas kedhoifannya, padahal perawi-perawinya tsiqoh terpercaya. Dan celaan Al Baihaqi atas mursalnya hadits ini tertolak, karena mubham ketidakjelasan sahabat tidak mengapa. Celaan Ibnu Hazm atas dhoifnya Hamid Al Himyari tertolak, karena ia bukan Hamid bin Abdullah Al Himyari tetapi Hamid bin Abdirrahman Al Himyari, dan perawi ini tsiqoh terpercaya lagi faqih. Al Hafidz Ibnu Hajar menyatakan di Bulughul Marom bahwa sanad-sanadnya shahih. Ibnu Abdil Hadiy berkata di Al Muharrar, “Al Humaidi menshahihkannya”, dan Al Baihaqi berkata, “perawi-perawinya tsiqoh terpercaya”. Faedah Hadits 1. Larangan bagi laki-laki mandi dengan air bekas bersuci wanita. 2. Larangan bagi wanita mandi dengan air bekas bersuci laki-laki. Yang disyariatkan adalah mandi bersama dan mengambil air bersama. Ada hadits di Shahih Bukhori dari Ibnu Umar bahwa dahulu laki-laki dan wanita di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mereka wudhu’ bersama-sama, di dalam riwayat Hisyam bin Ammar dari Malik berkata, “di dalam satu wadah”, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Abu Dawud meriwayatkan hadits ini dari jalur lain. Kemutlakan ini dimuqoyyad dibatasi bahwa maksudnya bukan laki-laki yang asing bagi wanita, akan tetapi maksud dari laki-laki dan wanita tersebut adalah suami istri, atau orang yang dihalalkan melihat anggota-anggota wudhu’. HADITS KE-7 وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَلِأَصْحَابِ السُّنَنِ اغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَفْنَةٍ فَجَاءَ يَغْتَسِلُ مِنْهَا فَقَالَتْ إنِّي كُنْت جُنُبًا فَقَالَ إنَّ الْمَاءَ لَا يَجْنُبُ وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ خُزَيْمَةَ Dari Ibnu Abbas Bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam pernah mandi dari air sisa Maimunah Diriwayatkan oleh Imam Muslim. Menurut para pengarang kitab Sunan Sebagian istri Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam mandi dalam satu tempat air, lalu Nabi datang hendak mandi dengan air itu, maka berkatalah istrinya Sesungguhnya aku sedang junub. Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda“Sesungguhnya air itu tidak menjadi junub.”Hadits shahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah. Derajat Hadits Hadits ini shahih. Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim telah tercacati dengan pertentangan di riwayat Amr bin Dinar. Akan tetapi telah ada hadits di Shahihain secara terpelihar tanpa pertentangan, dengan lafadz, “bahwa nabi –shallalahu alaihi wa sallam- dan Maimunah mandi berdua di dalam satu bak.” Lafadz ini jika tidak bertentangan dengan riwayat Muslim, maka yang bertentangan itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ashabussunnan, dan inilah yang benar. Ibnu Abdil Haadi berkata di Al Muharror, “At Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al Hakim, dan Adz Dzahabi menshahihkannya. Ibnu Hajar berkata di At Talkhis, “beberapa ulama mencacati hadits ini dengan Simak bin Harb riwayat dari Ikrimah, karena dia menerima talqin, akan tetapi diriwayatkan dari Syu’bah. Dan Syu’bah tidaklah mengambil dari Syaikhnya melainkan shahih haditsnya. Faedah Hadits 1. Bolehnya seorang laki-laki mandi dengan air bekas bersucinya wanita walaupun wanita tersebut junub, dan kebalikannya lebih diperbolehkan bagi wanita untuk mandi dengan air bekas bersucinya laki-laki. 2. Mandinya orang yang junub atau wudhu’nya orang yang berwudhu dari wadah tidak memberikan dampak terhadap kesucian air, maka air tetap dalam kesuciannya. 3. Al Wazir dan An Nawawi menceritakan adanya ijma’ atas bolehnya laki-laki berwudhu’ dengan air bekas bersucinya wanita walaupun mereka tidak wudhu’ bersama. Kecuali ada salah satu riwayat dari Ahmad, yaitu riwayat yang masyhur bagi pengikutnya. Dan riwayat lain, beliau berkata di Al Inshof, dan dari Imam Ahmad, “hilangnya hadats laki-laki tersebut” dan inilah pendapat yang benar dari dua pendapat yang ada, dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu Uqoil dan Abu Khottob dan Al Majid. Dikatakan di Syarhul Kabir, “inilah madzhab imam yang tiga”. Adapun wudhu’nya wanita dengan air bekas bersucinya laki-laki maka boleh tanpa ada perbedaan pendapat. Diterjemahkan dari kitab Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom karya Syaikh Abdullah Al Bassamhafizhohullah Tambahan Jumhur ulama dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa tidak mengapa laki-laki suami berwudhu’ atau mandi dengan air bekas wudhu’nya wanita istri, berdasarkan hadits Maimunah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim Hadits 7 di atas, dan hadits ini lebih shahih dibandingkan hadits 6. Kebanyakan ulama mendho’ifkan hadits 6, seperti Imam Bukhori, An Nawawi, Ibnul Qoyyim, dll. Namun, ada juga ulama yang menshahihkan hadits 6 tersebut seperti Syaikh Al Albani di kitab Shahih Abu Dawud, dishahihkan juga oleh Syaikh Al Bassam seperti keterangan di atas. Karena hadits-hadits tersebut shahih, maka sebagian ulama berusaha menjama’ mengkombinasikan antar hadiits-hadits tersebut, cara mengkombinasikannya yaitu hadits 6 di atas merupakan larangan yang tidak berkonsekuensi haram, akan tetapi larangan tersebut hanya untuk menjaga kebersihan saja, dan bermakna lebih utama meniggalkannnya, tetapi jika dia melakukannya maka tidak mengapa. Berkata Syaikh Shalih Al Fauzan hafidzahullah, “larangan tersebut dimaknai untuk kebersihan sehingga terjama’lah dalil-dalil yang ada, ketika air lain ada maka sebaiknya mandi dengannya, tidak dengan air bekas bersuci wanita. Adapun jika butuh untuk menggunakan air bekas bersuci wanita, maka hilanglah hukum makruhnya, karena mandi itu wajib dan wudhu juga wajib, tidak ada kemakruhan ketika kondisinya butuh untuk menggunakan air tersebut. Jika Anda menemukan air yang banyak, maka lebih baik si laki-laki tidak mandi dengan air bekas wanita, dan wanita tidak mandi dengan air bekas laki-laki.” Demikian juga pendapat Syaikh Ibnu Utsaiminrahimahulllah. Kesimpulan Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah lebih utama bagi seorang laki-laki suami tidak mandi atau berwudhu’ dengan air bekas bersuci wanita istri, tetapi jika dalam keadaan butuh, maka tidak mengapa menggunakannya. Wallahu a’lam. HADITS KE-8 وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ Dari Ibnu Abbas Bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam pernah mandi dari air sisa Maimunah Diriwayatkan oleh Imam Muslim. Derajat Hadits HADITS KE-9 وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَطُهُورُ إنَاءِ أَحَدِكُمْ إذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِأَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَفِي لَفْظٍ لَهُ فَلْيُرِقْهُ وَلِلتِّرْمِذِيِّ أُخْرَاهُنَّ أَوْ أُولَاهُنَّ Dari Abu Hurairah Radliyallaahu anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda “Sucinya tempat air seseorang diantara kamu jika dijilat anjing ialah dengan dicuci tujuh kali, yang pertamanya dicampur dengan debu tanah.” Dikeluarkan oleh Muslim. Dalam riwayat lain disebutkan “Hendaklah ia membuang air itu.”Menurut riwayat Tirmidzi “Yang terakhir atau yang pertama dicampur dengan debu tanah”. Kosakata Hadits kata طهور thuhur merupakan isim mashdar. kata ولغ walagho = menjilat, artinya meminum dengan ujung lidah, dan ini cara minum anjing dan hewan-hewan buas lainnya. kata التراب at-turob = debu, yaitu sesuatu yang halus di permukaan tanah. kata فليرقه falyuriqhu yaitu hendaknya ia menumpahkannya air ke tanah. kata أخراهن, أو أولاهن ukhoohunna aw uulahunna = yang pertamannya atau yang terakhirnya. Yang rajih bahwa ini adalah keraguan dari perawi hadits, bukan maksudnya boleh memiliih antara yang pertama atau yang terakhir, riyawat “ulaahunna” yang pertamanya lebih rajih karena banyaknya riwayat tentangnya, dan karena diriwayatkan oleh Bukhori Muslim syaikhoin, dan juga karena debu jika digunakan pada cucian pertama maka itu lebih bersih dibandingkan jika debunya digunakan pada cucian yang terakhir. Faedah Hadits Anjing itu najis, demikian juga anggota tubuh dan kotorannya, seluruhnya najis. Najisnya adalah najis yang paling berat. Tidak cukup untuk menghilangkan najisnya dan bersuci darinya kecuali dengan tujuh kali cucian. Jika anjing menjilat ke dalam wadah, maka tidak cukup membersihkan jilatannya dengan dibersihkan saja, tetapi mesti dengan menumpahkan isi di dalamnya kemudian mencuci wadah tersebut sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan debu. Wajibnya menggunakan debu sekali dari tujuh kali cucian, dan yang lebih utama pada cucian pertama sehingga air digunakan untuk cucian selanjutnya. Penggunaan debu tidak boleh digantikan dengan pembersih lainnya karena Dengan debu dihasilkan kebersihan yang tidak diperoleh jika menggunakan bahan pembersih lain. Tampak dari kajian ilmiah bahwa debu memiliki kekhususan dalam membersihkan najis ini, tidak seperti pada bahan pembersih lainnya. Ini merupakan salah satu mukjizat ilmiah pada syariat Muhammad ini yang beliau tidak berbicara dari hawa nafsunya, melainkan berdasarkan wahyu yang diwahyukan kepadanya. Sesungguhnya debu adalah kata yang tercantum di dalam hadits, wajib kita mengikuti nash. Seandainya ada benda lain yang boleh menggantikannya maka tentu telah datang nash yang menjelaskannya. “Dan tidaklah Rabb-mu lupa” al ayah. Menggunakan debu boleh dengan mencampurkan air dengan debu atau mencampurkan debu dengan air atau dengan mengambil debu yang telah bercampur dengan air, lalu tempat yang terkena najis dicuci dengannya. Adapun dengan mengusap tempat najis dengan debu saja, maka tidak sah. Telah tetap secara medis dan terungkap melalu alat mikroskop dan alat modern lainnya bahwa di dalam air liur anjing terdapat mikroba dan penyakit yang mematikan dan air saja tak dapat menghilangkannya kecuali disertai dengan debu. Tidak ada cara lain. Maha suci Allah Yang Maha Mengetahui lagi Memberi tahu. Makna lahiriyah hadits ini adalah umum untuk seluruh jenis anjing, dan ini adalah pendapat jumhur ulama. Akan tetapi sebagian ulama mengatakan, “anjing untuk berburu, menjaga kebun, anjing peliharaan adalah anjing-anjing yang dikecualikan dari keumuman ini. Hal ini berdasarkan pada kaidah toleransinya syariat dan kemudahannya. “Kesulitan dapat menarik kemudahan”. Sahabat-sahabat kami menyamakan anjing dengan babi di dalam kenajisannya yang berat, dan hukum mencuci najisnya babi sama dengan mencuci najisnya anjing. Akan tetapi jumhur ulama menyelisihi pendapat ini, mereka TIDAK menyamakan hukum mencuci najis babi dengan mencuci najis anjing yang tujuh kali dan berurutan. Mereka mencukupkan apa yang ada di dalam nash. Selain itu illah alasan hukum di dalam beratnya najis anjing tidak jelas. Perbedaan pendapat ulama terhadap wajibnya menggunakan debu Madzhab Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa yang wajib adalah mencuci tujuh kali, adapun penggunaan debu bersama tujuh kali cucian hukumnya tidak wajib. Hal ini karena kegoncangan idhtirobnya periwayatan hadits tentang pencuciannya yang disertai dengan debu, di dalam sebagian riwayat debu tersebut pada cucian pertama, di sebagian riwayat lain pada cucian terakhir, dan di riwayat lain tidak menentukan urutannya hanya menyebutkan “salah satunya dengan debu”. Oleh karena idhtirob ini maka gugurlah hukum wajib penggunaan debu, karena “asal”nya adalah tidak adanya hukum wajib. Imam Syafi’i dan Ahmad serta pengikut-pengikut mereka dan kebanyakan madzhab azh zhohiriyah, Ishaq, Abu Ubaidah, Abu Tsaur, Ibnu Jarir, dan yang lainnya mensyaratkan penggunaan debu. Jika najis anjing dicuci tanpa debu maka tidak suci. Hal ini berdasarkan nash yang shahih. Adapun celaanidhtirob pada periwayatannya ini tertolak. Dihukumi gugurnya suatu periwayatan karenaidhtirob hanyalah jika idhtirobnya pada seluruh sisi, adapun jika sebagian sisi hadits unggul atas sebagian yang lain –sebagaimana dalam kasus ini- maka yang dijadikan hukum adalah riwayat yang rajih, sebagaimana yang ditetapkan di dalam ilmu ushul fiqh. Dan di sini, yang rajih adalah riwayat Muslim, yaitu penggunaan debu pada cucian yang pertama. Perbedaan pendapat ulama, apakah najisnya anjing ini khusus pada mulut dan air liurnya saja, atau umum seluruh badan dan anggota tubuhnya? Jumhur mayoritas ulama berpendapat bahwa najisnya adalah umum untuk seluruh badannya, dan mencuci dengan cara seperti ini juga berlaku secara umum. Mereka menyamakan badan anjing dengan mulutnya. Imam Malik dan Dawud berpendapat bahwa hukum tersebut hanya sebatas untuk lidah dan mulut anjing, mereka memandang bahwa perkara mencuci ini adalah dalam rangka ta’abbudi ibadah bukan semata-mata karena najis. Perkara ibadah hanya dibatasi pada nash dan tidak melebihinya karena tidak adanya illah alasan hukum. Pendapat pertama lebih rajih unggul karena Ditemukan di dalam badan anjing beberapa bagian yang lebih najis dan lebih kotor dari mulut dan lidahnya. Asal di dalam hukum adalah ta’lil, maka dibawa kepada yang umum. Sekarang tampak bahwa najisnya anjing adalah najis mikroba, maka sudah tidak menjadi hukum yang bisa dicari illahnya, hanyalah hukumnya berdasarkan hikmah yang jelas. Imam Asy Syafi’i berkata, “seluruh anggota badan anjing berupa tangannya, telinganya, kakinya, atau anggota badan apapun jika masuk ke dalam wadah, maka wadah tersebut dicuci tujuh kali setelah menumpahkan isi air di dalam wadah. Prof. Thobaroh berkata di dalam bukunya “ruhuddin al islamiy”, “di antara hukum islam adalah menjaga badan dari najisnya anjing. Ini adalah mukjizat ilmiah bagi Islam yang telah mendahului ilmu kedokteran modern, dimana telah ditetapkan bahwa anjing menularkan kebanyakan dari penyakit kepada manusia. Sebab anjing mengandung cacing pita yang dapat menyebabkan penyakit kronis berbahaya bagi manusia. Telah ditetapkan bahwa seluruh jenis anjing tidak terlepas dari cacing pita ini, maka harus dijauhi dari seluruh hal yang berhubungan dengan makanan dan minuman manusia.” Diterjemahkan dari kitab Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom karya Syaikh Abdullah Al Bassamhafizhohullah. HADITS KE-10 وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ –فِي الْهِرَّةِ – إنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إنَّمَا هِيَ مِنْ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ خُزَيْمَة Dari Abu Qotadah Radliyallaahu anhu Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda perihal kucing -bahwa kucing itu tidaklah najis, ia adalah termasuk hewan berkeliaran di oleh Imam Empat dan dianggap shahih oleh Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah. Derajat hadits Hadits Shahih Ash Shon’ani berkata, “Hadits ini dishahihkan oleh Al Bukhori, Al Uqoili, dan Ad Daruquthni”. Al Majd berkata di dalam Al Muntaqo, “Hadits ini diriwayatkan oleh imam yang lima”. At Tirmidzi berkata, “hadits ini hasan shahih”. Ad Daruquthni berkata, “periwayat-periwayat rijal nya terpercaya dan dikenal. Imam Al Hakim berkata, “Hadits ini dishahihkan oleh Malik, dan beliau berhujjah dengannya di dalam al Muwaththo’”. Bersamaan dengan itu, hadits inipun memiliki syahid penguat dengan sanad yang shahih yang diriwayatkan oleh Malik. Diriwayatkan juga dari Malik oleh Abu Dawud, An Nasaa-i, At Tirmidzi, Ad Daarimiy, Ibnu Majah, Al Hakim, Al Baihaqiy, dan Ahmad, seluruh mereka meriwayatkan hadits ini dari Malik dari Ishaq bin Abdillah bin Abi Tholhah dari Humaidah binti Abi Ubaidah dari bibinya Kabsyah binti Ka’ab bin Malik. Dan Kabsyah ini dibawah asuhan Abu Qotadah Al Anshoriy. Hadits inipun dishahihkan oleh An Nawawi di dalam Al Majmu’, dan beliau menukil dari Al Baihaqiy bahwa Al Baihaqiy tersebut berkata, “sanad-sanadnya shahih”. Hadits ini memiliki banyak jalur periwayatan lain. Akan tetapi Ibnu Mandah mencacati hadits ini dengan mengatakan bahwa Humaidah dan Kabsyah adalah perawi yang majhul. Namun dapat dijawab bahwa Anaknya yaitu Yahya meriwayatkan hadits darinya, dan Yahya ini adalah terpercaya bagi Ibnu Ma’in. Adapun Kabsyah, ada pendapat bahwa dia adalah seorang sahabat wanita, dan ini khusus pada sanad ini, jika tidak, maka telah datang dari jalur lain dari Abu Qotadah. Dengan demikian terbantahlah pencatatan hadits oleh Ibnu Mandah, sehingga hadits ini menjadi shahih dengan penshahihan oleh imam-imam di atas, wallahu a’lam. Kosakata Kata الطوافين Ath Thowwafiin, merupakan jama’ dari الطواف thowwaaf yaitu yang banyak mondar-mandir dan berjalan sebagai pelayan. Ibnu Atsir berkata, “yaitu yang melayanimu dengan lemah lembut dan penuh perhatian, beliau menyerupakannya dengan pelayan yang mondar-mandir menemui majikannya dan berputar-putar di sekitarnya”. Jama’nya berupa jama’ mudzakkar salim padahal kucing tidak termasuk yang berakal, hal ini karena kucing menempati kedudukan orang yang berakal, dari segi disifati dengan sifat “pelayan”. Faidah Hadits Kucing bukan hewan yang najis, sehingga tidak ternajisi apa-apa yang disentuhnya dan air yang dijilatnya. Alasan illah tidak najis tersebut adalah karena kucing merupakan hewan yang banyak mondar-mandir dan merupakan hewan pelayan yang melayani majikannya, kucing tersebut bersama manusia di rumah-rumah mereka dan tidak mungkin mereka melepaskan diri darinya. Hadits ini dan semisalnya merupakan dalil kaidah yang umum yaitu “kesulitan dapat menarik kemudahan”, maka seluruh yang tersentuh oleh kucing adalah suci, walaupun basah. Di-qiyas-kan diserupakan hukumnya dengan kucing yaitu seluruh hewan sejenisnya yang haram dimakan, akan tetapi hewan-hewan tersebut jinak dan penting untuk dipelihara, seperti baghol dan himar keledai, atau sejenis hewan yang tidak mungkin dihindari keberadaannya seperti tikus. Ahli fiqh dari kalangan Hanabilah dan selain mereka menjadikan seluruh hewan yang haram dimakan dan burung yang berukuran sama dengan kucing atau yang lebih kecil disamakan hukumnya dari sisi kesucian dan kebolehan untuk menyentuhnya, namun kesucian hewan-hewan ini dan sejenisnya bukan berarti halal dimakan dengan sesembelihan, kesucian yang dimaksud hanyalah kesucian tubuhnya dan apa-apa yang tersentuh olehnya. Akan tetapi yang lebih rajih pendapat yang lebih kuat adalah memuqoyyadkan-nya dengan hewan-hewan yang diharamkan, baik hewan itu bertubuh besar ataupun kecil, karena inti dari illah tersebut adalah “hanyalah ia hewan yang suka berkeliaran di sisi kalian”. Sabda beliau, “Sesungguhnya ia bukanlah hewan yang najis” merupakan dalil tentang kesucian seluruh anggota badan dari kucing. Inilah pendapat yang lebih benar daripada perkataan yang membatasi kesuciannya pada jilatan dan apa-apa yang tersentuh oleh mulutnya saja, serta menjadikan anggota badan lainnya berhukum najis, pendapat ini menyelisihi apa yang terpahami dari hadist di atas, dan menyelisihi ta’lil alasan yang terpahami dari sabda beliau –shallallahu alaihi wa sallam-, “hanyalah ia hewan yang banyak berkeliaran di sisi kalian”, karena “berkeliaran mondar-mandir” berarti bisa disentuh seluruh anggota badannya. Yang terpahami dari hadits di atas adalah disyariatkannya menjauhi sesuatu yang najis. Jika sangat dibutuhkan atau darurat untuk menyentuhnya, seperti istinja mencebok atau menghilangkan kotoran dengan tangan, maka wajib membersihkannya. HADITS KE-11 وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُ النَّاسُ فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ؛ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ Anas Ibnu Malik Radliyallaahu anhu berkata“Seseorang Badui datang kemudian kencing di suatu sudut masjid, maka orang-orang menghardiknya, lalu Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam melarang mereka. Ketika ia telah selesai kencing, Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam menyuruh untuk diambilkan setimba air lalu disiramkan di atas bekas kencing itu.” Muttafaq Alaihi. Faedah Hadits Air kencing manusia itu najis, dan wajib mensucikan tempat yang mengenainya baik itu badan, pakaian, wadah, tanah, atau selainnya. Cara mensucikan air kencing yang ada di tanah adalah menyiramkannya dengan air, dan tidak disyaratkan memindahkan debu dari tempat itu baik sebelum menyiramnya maupun setelahnya. Hal serupa penyuciannya dengan air kencing adalah penyucian najis-najis lainnya, dengan syarat najis-najis tersebut tidak berbentuk padatan. Penghormatan terhadap masjid dan pensuciannya, serta menjauhkan kotoran dan najis darinya. Telah diriwayatkan oleh al-jama’ah, kecuali imam Muslim bahwa beliau –shallallahu alaihi wa sallam berkata kepada orang Badui tersebut, “Sesungguhnya masjid ini tidak layak dikotori sesuatu berupa kencing ini dan kotoran, tempat ini hanyalah untuk berdzikir kepada Allah dan membaca Al Qur’an”. Toleransinya akhlak Nabi –shallallahu a’laihi wa sallam-. Beliau memberi petunjuk kepada orang arab Badui tersebut dengan lemah lembut setelah dia selesai kencing, yang membuat dia mengkhususkan doanya untuk nabi, dia berkata, “Ya Allah, rahmatilah aku dan Muhammad, dan janganlah engkau rahmati seorangpun yang ada bersama kami”, sebagaimana yang terdapat di Shahih Al Bukhori. Luasnya pandangan beliau dan pengenalan beliau tentang tabiat manusia serta baiknya akhlak beliau bersama mereka sampai-sampai seluruh hati mereka mencintai beliau, Allah ta’ala berfirman, “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur” QS Al Qolam 4. Ketika ada berbagai kerusakan berkumpul, maka yang dilakukan adalah kerusakan yang lebih ringan. Beliau –shallallahu alaihi wa sallam- membiarkannya sampai selesai kencing, agar tidak mengakibatkan mudhorat dengan terputusnya kencing secara mendadak dan dari terkotorinya badannya, pakaiannya, dan menyebarnya kencing tersebut ke daerah lain di dalam masjid tersebut, serta bahaya yang terjadi pada tubuhnya khususnya saluran kencing Jauhnya dari masyarakat dan kota menyebabkan kurangnya pengetahuan dan kebodohan. Anjuran lemah lembut dalam mengajarkan orang yang bodoh tanpa kekerasan Bahwa yang dikenai hukum-hukum syar’I berupa dosa atau hukuman di dalam kehidupan hanyalah untuk orang yang tahu terhadap hukumnya, adapun orang yang bodoh maka tidak tercela baginya, akan tetapi diajarkan padanya agar dia mengerjakannya. HADITS KE-12 وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَأُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ. فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْجَرَادُ وَالْحُوتُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالطِّحَالُ وَالْكَبِدُ أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ وَفِيهِ ضَعْفٌ Ibnu Umar Radliyallaahu anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Dua macam bangkai itu adalah belalang dan ikan, sedangkan dua macam darah adalah hati dan jantung.”Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah, dan di dalam sanadnya ada kelemahan. Derajat Hadits Hadits ini shohih secara mauquf. Adapun perkataan penulis Ibnu Hajar, “di dalamnya ada kedho’ifan” karena berasal dari riwayat Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari Bapaknya dari Ibnu Umar. Imam Ahmad mengatakan, “Ia adalah seorang munkarul hadits”. Abu Zar’ah dan Abu Hatim berkata, “hadits ini mauquf, dishohihkan secara marfu’ setiap yang diriwayatkan oleh Ad Daruquthni, Hakim, Al Baihaqi, dan Ibnul Qoyyim”. Ash Shon’ani berkata, “Jika telah ditetapkah hadits ini mauquf, maka hadits ini berhukum marfu’, karena perkataan shahabat “Dihalalkan bagi kami” dan “Diharamkan bagi kami”, ini seperti perkataan, “kami diperintah” dan “kami dilarang”, maka sudah bisa dijadikan hujjah. Inilah yang dinyatakan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar sebelumnya di At Talkhisul Khobir. Faedah Hadits Haramnya darah yang mengalir, diambil dari kebolehan dua darah yang disebutkan di dalam hadits tersebut. Pengecualian halalnya sebagian tertentu menjadi dalil tentang keharaman selainnya Haramnya bangkai, yaitu hewan yang mati begitu saja atau disembelih tidak dengan cara yang sesuai dengan syari’at Ati dan limpa itu halal dan suci Bangkai belalang dan ikan juga halal dan suci Makna bangkai belalang adalah belalang yang mati bukan akibat ulah manusia, melainkan mati begitu saja dengan sebab-sebab kematian seperti kedinginan, hanyut, atau yang lainnya. Adapun yang mati dengan sebab racun maka bangkai tersebut diharamkan karena di dalamnya terkandung racun yang mematikan yang diharamkan. Demikian juga bangkai ikan adalah ikan yang mati bukan akibat perbuatan manusia, melainkan yang mati begitu saja, baik dengan sebab hanyut oleh ombak atau keringnya air sungai, atau karena suatu musibah yang bukan akibat ulah manusia. Maksudnya adalah bahwa jika ditemukan telah menjadi bangkai dengan cara apa saja, maka ia halal dan suci. Adapun yang mati dengan sebab oleh sesuatu yang disebut dengan pencemaran air laut dengan bahan beracun atau hal-hal yang mematikan, maka ini diharamkan, bukan karena substansi bangkai ikannya akan tetapi karena racun dari zat-zat yang berbahaya atau yang mematikan tersebut. Hadits ini menjadi dalil bahwa jika ikan dan belalang mati di air, maka air tersebut tidak ternajisi, baik air tersebut banyak maupun sedikit, sekalipun rasanya, warnanya, dan baunya berubah, maka perubahan tersebut bukan dengan sesuatu yang najis, akan tetapi perubahan itu dengan sesuatu yang suci. Inilah konteks kesesuaian hadits ini di dalam Bab Air. HADITS KE-13 وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي أَحَدِ جَنَاحَيْهِ دَاءً وَفِي الْآخَرِ شِفَاءً أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ وَأَبُو دَاوُد . وَزَادَوَإِنَّهُ يَتَّقِي بِجَنَاحِهِ الَّذِي فِيهِ الدَّاءُ Dari Abu Hurairah Radliyallaahu anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda “Apabila ada lalat jatuh ke dalam minuman seseorang di antara kamu maka benamkanlah lalat itu kemudian keluarkanlah, sebab ada salah satu sayapnya ada penyakit dan pada sayap lainnya ada obat penawar.”Dikeluarkan oleh Bukhari dan Abu Dawud dengan tambahan “Dan hendaknya ia waspada dengan sayap yang ada penyakitnya.” HADITS KE-14 وَعَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَمَا قُطِعَ مِنْ الْبَهِيمَةِ – وَهِيَ حَيَّةٌ – فَهُوَ مَيِّتٌ أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ وَاللَّفْظُ لَهُ Dari Abu Waqid Al-Laitsi Radliyallaahu anhu bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda “Anggota yang terputus dari binatang yang masih hidup adalah termasuk bangkai.”Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dan beliau menyatakannya shahih. Lafadz hadits ini menurut Tirmidzi.
بسمالله الرحمن الرحيم aum Muslimin dan Muslimah barakallahufiikum, berikut ini adalah kumpulan audio rekaman Kajian Seputar Thararah dari Kitab Fiqih Islam Syarah Bulughul Maram karya Asy-Syaikh Abdul Qadir Syaibah رحمه الله yang disampaikan oleh Al-Ustadz Hasan bin Hasan, Lc حفظه الله تعالى di Masjid Abu Dzar Al-Ghifari, Pondok Pesantren Minhajus
Bulughul Maram - Kitab Shalat, Bab Musafir dan Orang Sakit, dan Bab Jum'at, Hadits Ke-340-361Bulughul Maram - Kitab Shalat, Bab Musafir dan Orang Sakit, dan Bab Jum'at, Hadits Ke-340-361. Video 15, 2020010523Bulughul Maram - Kitab Shalat, Bab Waktu-Waktu Shalat, Hadits Ke-128-132Bulughul Maram - Kitab Shalat, Bab Waktu-Waktu Shalat, Hadits Ke-128-132. Video 15, 2020010736Bulughul Maram - Kitab Shalat, Bab Sifat Shalat, Hadits Ke-210-222Bulughul Maram - Kitab Shalat, Bab Sifat Shalat, Hadits Ke-210-222. Video 15, 2020010448Bulughul Maram - Kitab Thaharah, Bab Pembatal WudhuBulughul Maram - Kitab Thaharah, Bab Pembatal Wudhu. Video 02, 2020011049Bulughulmaram - Kitab Shalat, Bab Masjid, Hadits 203Bulughulmaram - Kitab Shalat, Bab Masjid, Hadits 203. Video 02, 20203511Bulughul Maram - Kitab Shalat, Bab Shalat Sunnah, Hadits Ke-280-313Bulughul Maram - Kitab Shalat, Bab Shalat Sunnah, Hadits Ke-280-313. Video Feb 02, 2020015337Bulughul Maram - Kitab Al-Jami', Bab al-Bir wa-Shilah Kebaikan & Silaturahmi, Hadits Ke-1483-1496Bulughul Maram - Kitab Al-Jami', Bab al-Bir wa-Shilah Kebaikan & Silaturahmi, Hadits Ke-1483-1496. Video 13, 2020010601Bulughul Maram - Kitab Al-Jami', Bab Adab Etika, Hadits Ke-1471-1482Bulughul Maram - Kitab Al-Jami', Bab Adab Etika, Hadits Ke-1471-1482. Video 13, 2020011147Bulughul Maram - Kitab Shalat, Bab Syarat-Syarat Shalat, Hadits Ke-159-177Bulughul Maram - Kitab Shalat, Bab Syarat-Syarat Shalat, Hadits Ke-159-177. Video 13, 2020011256Bulughul Maram - Kitab Shalat, Bab Azan, Hadits Ke-144-158Bulughul Maram - Kitab Shalat, Bab Azan, Hadits Ke-144-158. Video 07, 20195905Bulughul Maram - Kitab Thaharah, Bab Mandi dan Hukum Junub, Hadits Ke-94-107Bulughul Maram - Kitab Thaharah, Bab Mandi dan Hukum Junub, Hadits Ke-94-107. Video 07, 2019010313Bulughul Maram - Kitab Peradilan, Bab Tuntutan Perkara dan Bukti, Hadits Ke-1437-1447Bulughul Maram - Kitab Peradilan, Bab Tuntutan Perkara dan Bukti, Hadits Ke-1437-1447. Video 07, 2019012232Bulughul Maram - Kitab Sumpah dan Nadzar, Hadits Ke-1398-1410Bulughul Maram - Kitab Sumpah dan Nadzar, Hadits Ke-1398-1410. Video 01, 20195831Bulughul Maram - Kitab Thaharah, Bab Mengusap Dua KhufBulughul Maram - Kitab Thaharah, Bab Mengusap Dua Khuf. Video 01, 2019010737Shahih At-Targhib wa At-Tarhib - Kitab ThaharahShahih At-Targhib wa At-Tarhib - Kitab Thaharah. Video 23, 20194220Shahih At-Targhib wa At-Tarhib - Ancaman Berbicara saat Buang HajatShahih At-Targhib wa At-Tarhib - Ancaman Berbicara saat Buang Hajat. Video 23, 2019012204Shahih At-Targhib wa At-Tarhib - Anjuran Memuliakan, Menghormati, dan Menghargai Para UlamaShahih At-Targhib wa At-Tarhib - Anjuran Memuliakan, Menghormati, dan Menghargai Para Ulama. Video 23, 2019012807Shahih At-Targhib wa At-Tarhib - Ancaman Mengklaim Memiliki Ilmu dan Berdebat dalam Masalah AgamaShahih At-Targhib wa At-Tarhib - Ancaman Mengklaim Memiliki Ilmu dan Berdebat dalam Masalah Agama. Video 23, 2019011931Shahih At-Targhib wa At-Tarhib - Kitab Ilmu, Hadits 127Shahih At-Targhib wa At-Tarhib - Kitab Ilmu, Hadits 127. Video 23, 2019010447Shahih At-Targhib wa At-Tarhib - Ancaman Menyembunyikan IlmuShahih At-Targhib wa At-Tarhib - Ancaman Menyembunyikan Ilmu. Video 23, 2019011525Shahih At-Targhib wa At-Tarhib - Anjuran Menyebarkan Ilmu dan Menunjukkan kepada KebaikanShahih At-Targhib wa At-Tarhib - Anjuran Menyebarkan Ilmu dan Menunjukkan kepada Kebaikan. Video 23, 2019013148Shahih At-Targhib wa At-Tarhib - Anjuran untuk Berpergian Jauh Guna Mencari IlmuShahih At-Targhib wa At-Tarhib - Anjuran untuk Berpergian Jauh Guna Mencari Ilmu. Video 23, 2019013020Shahih At-Targhib wa At-Tarhib - Kitab Ilmu, Hadits 78-83Shahih At-Targhib wa At-Tarhib - Kitab Ilmu, Hadits 78-83. Video 23, 2019010707Shahih At-Targhib wa At-Tarhib - Kitab Ilmu, Hadits 76-77Shahih At-Targhib wa At-Tarhib - Kitab Ilmu, Hadits 76-77. Video 23, 2019013133Shahih At-Targhib wa At-Tarhib - Kitab Ilmu, Hadits 70-75Shahih At-Targhib wa At-Tarhib - Kitab Ilmu, Hadits 70-75. Video 23, 2019012540Al-Adab Al-Mufrad - BermusyawarahAl-Adab Al-Mufrad - Bermusyawarah. Video 12, 2019011812Al-Adab Al-Mufrad - TersenyumAl-Adab Al-Mufrad - Tersenyum. Video 12, 2019010104Al-Adab Al-Mufrad - Memberi Maaf dan Ampunan kepada Orang LainAl-Adab Al-Mufrad - Memberi Maaf dan Ampunan kepada Orang Lain. Video 10, 2019012546Al-Adab Al-Mufrad - Berangkat ke Tempat KerjaAl-Adab Al-Mufrad - Berangkat ke Tempat Kerja. Video 10, 2019011437Al-Adab Al-Mufrad - Menyingkirkan GangguanAl-Adab Al-Mufrad - Menyingkirkan Gangguan. Video 10, 2019011645Al-Adab Al-Mufrad - Orang yang Baik di Dunia, Dialah yang Mendapatkan Perlakuan Baik di AkhiratAl-Adab Al-Mufrad - Orang yang Baik di Dunia, Dialah yang Mendapatkan Perlakuan Baik di Akhirat. Video 10, 2019012123Al-Adab Al-Mufrad - Siapa yang Mendapat Perbuatan Baik Hendaklah Ia MembalasnyaAl-Adab Al-Mufrad - Siapa yang Mendapat Perbuatan Baik Hendaklah Ia Membalasnya. Video 10, 2019011010Al-Adab Al-Mufrad - Orang yang Ingin Menjadi BudakAl-Adab Al-Mufrad - Orang yang Ingin Menjadi Budak. Video 10, 2019014644Al-Adab Al-Mufrad - Jika Budak Patuh kepada TuannyaAl-Adab Al-Mufrad - Jika Budak Patuh kepada Tuannya. Video 10, 2019012529Al-Adab Al-Mufrad - Jika Tidak Suka Makan Bersama BudakAl-Adab Al-Mufrad - Jika Tidak Suka Makan Bersama Budak. Video 10, 2019010645Al-Adab Al-Mufrad - Apakah Diharuskan Membantu BudakAl-Adab Al-Mufrad - Apakah Diharuskan Membantu Budak. Video 10, 2019010611Al-Adab Al-Mufrad - Qisas BudakAl-Adab Al-Mufrad - Qisas Budak. Video 10, 2019010614Al-Adab Al-Mufrad - Adab PembantuAl-Adab Al-Mufrad - Adab Pembantu. Video 10, 2019010147Al-Adab Al-Mufrad - Jika Budak MencuriAl-Adab Al-Mufrad - Jika Budak Mencuri. Video 10, 20195726Al-Adab Al-Mufrad - Menjual Budak Arab BaduyAl-Adab Al-Mufrad - Menjual Budak Arab Baduy. Video 10, 2019010102Al-Adab Al-Mufrad - Perlakuan Baik Terhadap BudakAl-Adab Al-Mufrad - Perlakuan Baik Terhadap Budak. Video 10, 2019010452Al-Adab Al-Mufrad - Keutamaan Wanita jika Tabah Mengasuh Anak dan Ia Tidak Menikah LagiAl-Adab Al-Mufrad - Keutamaan Wanita jika Tabah Mengasuh Anak dan Ia Tidak Menikah Lagi. Video 10, 2019011147Al-Adab Al-Mufrad - Terhadap Anak Yatim, Jadilah seperti Ayah yang PenyayangAl-Adab Al-Mufrad - Terhadap Anak Yatim, Jadilah seperti Ayah yang Penyayang. Video 10, 2019010504Al-Adab Al-Mufrad - KemuliaanAl-Adab Al-Mufrad - Kemuliaan. Video 10, 2019010123Al-Adab Al-Mufrad - Keluhan TetanggaAl-Adab Al-Mufrad - Keluhan Tetangga. Video 10, 2019010530Al-Adab Al-Mufrad - Tidak Mengganggu TetanggaAl-Adab Al-Mufrad - Tidak Mengganggu Tetangga. Video 10, 2019011141Al-Adab Al-Mufrad - Sebaik-baik TetanggaAl-Adab Al-Mufrad - Sebaik-baik Tetangga. Video 10, 2019010448Al-Adab Al-Mufrad - Pemberian kepada Tetangga TerdekatAl-Adab Al-Mufrad - Pemberian kepada Tetangga Terdekat. Video 10, 2019010442Al-Adab Al-Mufrad - Memanggul Anak KecilAl-Adab Al-Mufrad - Memanggul Anak Kecil. Video 10, 20195910Al-Adab Al-Mufrad - Hak TetanggaAl-Adab Al-Mufrad - Hak Tetangga. Video 10, 20195337Al-Adab Al-Mufrad - Mencium Anak-Anak KecilAl-Adab Al-Mufrad - Mencium Anak-Anak Kecil. Video 10, 2019011352Al-Adab Al-Mufrad - Rahmat Itu Terbagi Menjadi 100 BagianAl-Adab Al-Mufrad - Rahmat Itu Terbagi Menjadi 100 Bagian. Video 10, 2019011201Al-Adab al-Mufrad - Rahmat Tidak Akan Turun kepada Kaum yang Memutus SilaturrahimAl-Adab al-Mufrad - Rahmat Tidak Akan Turun kepada Kaum yang Memutus Silaturrahim. Video 10, 2019010913Sirah Nabawiyyah ke 25 - Wafatnya Nabi Sallallahu 'Alaihi WasalamSirah Nabawiyyah ke 25 - Wafatnya Nabi Sallallahu 'Alaihi Wasalam. Video 03, 2019014216Sirah Nabawiyyah ke 24 - Imbas Peperangan-Peperangan RasulullahSirah Nabawiyyah ke 24 - Imbas Peperangan-Peperangan Rasulullah. Video 03, 2019021855Sirah Nabawiyyah ke 23 - Perang Tabuk part 3Sirah Nabawiyyah ke 23 - Perang Tabuk part 3. Video 03, 2019010941Sirah Nabawiyyah ke 23 - Perang Tabuk part 2Sirah Nabawiyyah ke 23 - Perang Tabuk part 2. Video 03, 2019014929Sirah Nabawiyyah ke 23 - Perang Tabuk part 1Sirah Nabawiyyah ke 23 - Perang Tabuk part 1. Video 03, 2019021012Sirah Nabawiyyah Ke 22 - Perang HunainSirah Nabawiyyah Ke 22 - Perang Hunain. Video 03, 2019013901Sirah Nabawiyyah Ke 21 - Pembebasan Kota Makkah Part 2Sirah Nabawiyyah Ke 21 - Pembebasan Kota Makkah Part 2. Video 03, 2019011804Sirah Nabawiyyah Ke 21 - Pembebasan Kota Makkah Part 1Sirah Nabawiyyah Ke 21 - Pembebasan Kota Makkah Part 1. Video 03, 2019024147Sirah Nabawiyyah ke 20 - Syariah Syariah yang Diutus Oleh Nabi Alaihi WassalamSirah Nabawiyyah ke 20 - Syariah Syariah yang Diutus Oleh Nabi Alaihi Wassalam. Video 03, 2019021249Sirah Nabawiyyah ke 19 - Surat Nabi Sallallahu 'Alaihi Wassalam Kepada Raja-raja DuniaSirah Nabawiyyah ke 19 - Surat Nabi Sallallahu 'Alaihi Wassalam Kepada Raja-raja Dunia. Video 03, 2019012014Sirah Nabawiyyah ke 18 - Kejadian Kejadian Setelah Perang KhaibarSirah Nabawiyyah ke 18 - Kejadian Kejadian Setelah Perang Khaibar. Video 03, 2019010835Sirah Nabawiyyah ke 17 - Perang KhaibarSirah Nabawiyyah ke 17 - Perang Khaibar. Video 03, 2019024626Sirah Nabawiyyah ke 16 - Kesepakatan HudaibiyyahSirah Nabawiyyah ke 16 - Kesepakatan Hudaibiyyah. Video 03, 2019021352Sirah Nabawiyyah ke 15 - Ghazwah Bani MustaliqSirah Nabawiyyah ke 15 - Ghazwah Bani Mustaliq. Video 03, 2019024733Sirah Nabawiyyah ke 14 - Upaya Nabi Menghukum Suku-suku yang Berpartisipasi dalam Perang AhzabSirah Nabawiyyah ke 14 - Upaya Nabi Menghukum Suku-suku yang Berpartisipasi dalam Perang Ahzab. Video 03, 2019011912Sirah Nabawiyyah ke 13 - Perang KhandaqSirah Nabawiyyah ke 13 - Perang Khandaq. Video 03, 2019031022Sirah Nabawiyyah ke 12 - Penyerangan Beberapa Suku Arab yang Ada Di Sekitar Kota MadinahSirah Nabawiyyah ke 12 - Penyerangan Beberapa Suku Arab yang Ada Di Sekitar Kota Madinah. Video 03, 2019014857Sirah Nabawiyyah ke 11 - Perang Hamrad AsadSirah Nabawiyyah ke 11 - Perang Hamrad Asad. Video 03, 2019021554Sirah Nabawiyyah ke 10 - Perang UhudSirah Nabawiyyah ke 10 - Perang Uhud. Video 03, 2019014127Sirah Nabawiyyah ke 9 - Perang Badar Part 2Sirah Nabawiyyah ke 9 - Perang Badar Part 2. Video 03, 2019015951Sirah Nabawiyyah ke 8 - Perang Badar Part 1Sirah Nabawiyyah ke 8 - Perang Badar Part 1. Video 03, 2019015849Sirah Nabawiyyah ke 7 - Kisah Ketadatangan Nabi Shalalluhu Alahi Wassalam Ke MadinahSirah Nabawiyyah ke 7 - Kisah Ketadatangan Nabi Shalalluhu Alahi Wassalam Ke Madinah. Video 03, 2019021736Sirah Nabawiyyah ke 6 - Dakwah Sembunyi-Sembunyi dan Terang-TeranganSirah Nabawiyyah ke 6 - Dakwah Sembunyi-Sembunyi dan Terang-Terangan. Video 03, 2019014846Sirah Nabawiyyah ke 5 - Fase Fase Sebelum Kenabian, Prosesi Penobatan KenabianSirah Nabawiyyah ke 5 - Fase Fase Sebelum Kenabian, Prosesi Penobatan Kenabian. Video 03, 2019023152Sirah Nabawiyyah Ke 4 - Kelahiran Nabi Muhammad Salallahu 'alaihi WassalamSirah Nabawiyyah Ke 4 - Kelahiran Nabi Muhammad Salallahu 'alaihi Wassalam. Video 03, 2019014224Sirah Nabawiyyah Ke 3 - Masuknya Agama Yahudi dan Nasrani ke Jazirah ArabSirah Nabawiyyah Ke 3 - Masuknya Agama Yahudi dan Nasrani ke Jazirah Arab. Video 03, 2019020340Sirah Nabawiyyah ke 2 - Sejarah Terbentuknya Kota MekkahSirah Nabawiyyah ke 2 - Sejarah Terbentuknya Kota Mekkah. Video 03, 2019020023Sirah Nabawiyyah ke 1 - Pengantar Sirah NabawiyahSirah Nabawiyyah ke 1 - Pengantar Sirah Nabawiyah. Video 03, 2019020955Riyadhush Shalihin - Ancaman apabila Perkataan Tidak Sesuai dengan PerbuatanRiyadhush Shalihin - Ancaman apabila Perkataan Tidak Sesuai dengan Perbuatan. Video 27, 2019012206Riyadhush Shalihin - Amar Ma'ruf Nahi Munkar, Hadits 194Riyadhush Shalihin - Amar Ma'ruf Nahi Munkar, Hadits 194. Video 27, 20194845Riyadhush Shalihin - Amar Ma'ruf Nahi Munkar, Hadits 197Riyadhush Shalihin - Amar Ma'ruf Nahi Munkar, Hadits 197. Video 27, 2019011435Riyadhush Shalihin - Amar Ma'ruf Nahi Munkar, Hadits 191Riyadhush Shalihin - Amar Ma'ruf Nahi Munkar, Hadits 191. Video 27, 2019011515Riyadhush Shalihin - Amar Ma'ruf Nahi Munkar, Hadits 189Riyadhush Shalihin - Amar Ma'ruf Nahi Munkar, Hadits 189. Video 27, 2019011948Riyadhush Shalihin - Tolong-menolong dalam Kebaikan dan TaqwaRiyadhush Shalihin - Tolong-menolong dalam Kebaikan dan Taqwa. Video 27, 2019010041Riyadhush Shalihin - Menunjukkan kepada Kebaikan dan Mengajak kepada Petunjuk atau KesesatanRiyadhush Shalihin - Menunjukkan kepada Kebaikan dan Mengajak kepada Petunjuk atau Kesesatan. Video 27, 2019013050Riyadhush Shalihin - Orang yang Memulai Sunnah yang Baik atau BurukRiyadhush Shalihin - Orang yang Memulai Sunnah yang Baik atau Buruk. Video 27, 2019011710Riyadhush Shalihin - Kewajiban Tunduk kepada Hukum AllahRiyadhush Shalihin - Kewajiban Tunduk kepada Hukum Allah. Video 27, 2019011249Riyadhush Shalihin - Menjaga Amal Sholeh Secara KonsistenRiyadhush Shalihin - Menjaga Amal Sholeh Secara Konsisten. Video 27, 2019011102Riyadhush Shalihin - Seimbang dalam Ketaatan, Hadits 154Riyadhush Shalihin - Seimbang dalam Ketaatan, Hadits 154. Video 27, 2019014120Riyadhush Shalihin - Yakin dan TawakkalRiyadhush Shalihin - Yakin dan Tawakkal. Video 27, 2019012407Riyadhush Shalihin - IstiqamahRiyadhush Shalihin - Istiqamah. Video Oct 27, 2019012243Riyadhush Shalihin - Perintah untuk Menjaga Sunnah Nabi Part 2Riyadhush Shalihin - Perintah untuk Menjaga Sunnah Nabi Part 2. Video 26, 2019011902Riyadhush Shalihin - Perintah untuk Menjaga Sunnah Nabi Part 1Riyadhush Shalihin - Perintah untuk Menjaga Sunnah Nabi Part 1. Video 26, 2019010716Riyadush Shalihin - Bab TaqwaRiyadush Shalihin - Bab Taqwa. Video 26, 2019011147Riyadhus Shalihin - Bab shidq Jujur dan BenarRiyadhus Shalihin - Bab shidq Jujur dan Benar. Video 26, 20195226Riyadhush Shalihin - Bab Taubat Part 5Riyadhush Shalihin - Bab Taubat Part 5. Video 19, 20194722Riyadhush Shalihin - Bab Taubat Part 4Riyadhush Shalihin - Bab Taubat Part 4. Video 19, 2019014625Riyadhush Shalihin - Bab Taubat Part 3Riyadhush Shalihin - Bab Taubat Part 3. Video 19, 2019011605Riyadhush Shalihin - Bab Taubat Part 2Riyadhush Shalihin - Bab Taubat Part 2. Video 19, 2019013304Riyadhush Shalihin - Bab Taubat Part 1Riyadhush Shalihin - Bab Taubat Part 1. Video 19, 2019012045Riyadhush Shalihin - Bab Merasa Selalu Diawasi Oleh Allah [part 3]Riyadhush Shalihin - Bab Merasa Selalu Diawasi Oleh Allah [part 3]. Video 18, 2019013146Oct 18, 2019012352Oct 18, 2019013319Riyadhush Shalihin - Bab Sabar Part 10Riyadhush Shalihin - Bab Sabar Part 10 Video 12, 2019012401Riyadhush Shalihin - Bab Sabar Part 9Riyadhush Shalihin - Bab Sabar Part 9 Video 12, 2019012158Riyadhush Shalihin - Bab Sabar Part 8Riyadhush Shalihin - Bab Sabar Part 8 Video 12, 2019012829Riyadhush Shalihin - Bab Sabar Part 7Riyadhush Shalihin - Bab Sabar Part 7 Video 12, 2019013222Riyadhush Shalihin - Bab Sabar Part 6Riyadhush Shalihin - Bab Sabar Part 6 Video 12, 2019011431Riyadhush Shalihin - Bab Sabar Part 5Riyadhush Shalihin - Bab Sabar Part 5 Video 12, 2019010935Riyadhush Shalihin - Bab Sabar Part 4Riyadhush Shalihin - Bab Sabar Part 4 Video 12, 20195910Riyadhush Shalihin - Bab Sabar Part 3Riyadhush Shalihin - Bab Sabar Part 3 Video 12, 2019012160Riyadhush Shalihin - Bab Sabar Part 2Riyadhush Shalihin - Bab Sabar Part 2 Video 12, 2019012719Riyadhush Shalihin - Bab Sabar Part 1Riyadhush Shalihin - Bab Sabar Part 1 Video 12, 2019011235Oct 09, 2019011248Oct 09, 2019010113Oct 09, 2019013136Oct 09, 2019010220Oct 09, 2019011950Oct 09, 2019011504Oct 09, 2019013639Oct 09, 2019010229Oct 09, 2019010925Oct 09, 2019012941Oct 09, 2019013313Oct 09, 2019014427Oct 06, 2019011226Oct 06, 2019010806Oct 06, 2019011756Oct 06, 2019011026Oct 06, 2019012215Oct 06, 2019011653Oct 05, 2019012844Oct 04, 2019010609Oct 04, 2019010244
SyarahBulughul Maram Kitab Ath Thaharah (bersuci) Bab Al Miyah (Tentang Air) - Syariah Online DepokSyariah Online Depok. THAHARAH (BERSUCI). - ppt download. Adab Bersuci dalam Islam - Kantor Berita MINA. Dari Abu Malik Al-Harits bin Ashim Al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu, Dia berkata: Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam pe
Diterjemahkan dari kitab Fat-hu Dzil Jalali wal-Ikram Bi-syarhi Bulughil Maram Karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Uthaimin. Penerbit Dar Ummil Qura Penerjemah Aunur Rafiq Saleh Tamhid Lc. KITAB THAHARAH PEMBAHASAN TENTANG BERSUCI Kosakata Dan Penjelasan Thaharah bersuci ada dua Pertama, Thaharah ma’nawiyah hati. Kedua, Thaharah hissiyah fisik. Thaharah ma’nawiyah adalah thaharah bersuci dari kemusyrikan dan dari semua akhlak yang rendah, sehingga manusia tidak menyekutukan Allah dan tidak memiliki rasa tidak suka dan benci kepada kaum Muslimin. Hatinya menjadi suci dan bersih. Allah berfirman “Mereka itu adalah orang-orang yang sudah tidak dikehendaki Allah untuk menyucikan hati mereka”. QS, al-Ma’idah 41 Ini adalah najis ma’nawi yang menjadi kebalikan dari kesucian ma’nawi, seperti sabda Nabi saw kepada Abu Hurairah “Sesungguhnya orang Mukmin tidak najis”.[1] Juga seperti sabdanya di dalam hadis Amr bin Hazm “Tidak boleh menyentuh al-Qur’an kecuali orang yang suci”[2] yakni orang Mukmin, menurut salah satu pendapat, karena orang Mukmin itu suci. Thaharah hissiyah adalah bersuci dari hadats dan najis. Bersuci dari hadats adalah bersuci dari hadats kecil dan hadats besar. Tempat terjadinya hadats pada orang yang ber-hadats menjadi tidak suci tetapi anggota badannya yang tidak terkena hadats tetap suci. Terkadang hadats tidak menimbulkan kotoran seperti orang yang tidur atau berhadats karena buang angin. Dalam kasus ini tidak ada sesuatu yang harus dicuci tetapi wajib berwudhu bila hendak shalat. Ini adalah thaharah dari hadats, bukan thaharah dari najis. Sedangkan thaharah dari najis seperti mencuci kotoran dari badannya atau pakaiannya yang terkena najis, misalnya badannya terkena kencing atau tahi atau hal yang serupa. Ini disebut thaharah dari najis. Perbedaan antara thaharah dari najis dan thaharah dari hadats, bahwa thaharah dari hadats termasuk melakukan perintah sehingga harus dilakukan dengan niat, menurut pendapat yang paling kuat dan berbeda dengan pendapat Abu Hanifah. Misalnya seseorang berniat melakukan wudhu’ karena hadats dan berniat mandi karena hadats. Adapun thaharah dari najis tidak disyaratkan niat. Seandainya seseorang mencuci pakaiannya karena kotor dan najis, tanpa berniat mencucinya dari najis, maka pakaiannya tersebut menjadi suci. Demikian pula seandainya hujan menimpa pakaian tersebut hingga membersihkan kotorannya maka pakaian tersebut menjadi suci. Sekiranya najis itu dihilangkan dengan bensin atau hal lainnya yang bisa menghilangkannya maka pakaian itu menjadi suci dari najis. Karena najis adalah benda kotor. Bila kotoran itu telah terangkat maka terangkat pula hukumnya. Sebab, ada dan tidak adanya hukum mengikuti illat-nya. Pembicaraan para ahli fiqh berkaitan dengan thaharah hissiyah fisik sedangkan pembicaraan ulama yang berbicara tentang tauhid dan aqidah berkaitan dengan thaharah ma’nawiyah. Yakni thaharah hati dari segala bentuk kemusyrikan, keraguan, kemunafikan, kebencian, kedengkian dan sifat-sifat lainnya yang tercela. Sehingga hatinya menjadi suci dan bersih. Ini lebih penting dari thaharah hissiyah. Sekalipun demikian manusia memerlukan kedua thaharah ini. Semuanya masuk dalam bab thaharah. Pengarang maksudnya Imam Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah memulai dengan Kitab Thaharah sebagaimana para ahli fiqh dan ahli hadis lainnya dalam menyusun kitab-kitab mereka berdasarkan bab-bab dalam fiqh. Hal ini karena beberapa sebab, diantaranya Pertama, thaharah termasuk syarat yang menentukan sah tidaknya shalat. Firman Allah “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat maa basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…”. Al-Maidah 6 Nabi saw bersabda “Allah tidak menerima shalat salah seorang diantara kamu apabila berhadats hingga ia berwudhu’”[3] Kedua, thaharah merupakan syarat shalat yang paling banyak rinciannya, sehingga layak didahulukan pembahasannya. Ketiga, mereka memulai dengan bab thaharah untuk membersihkan tujuan manusia agar dalam menuntut ilmu tidak menghendaki kecuali ridha Allah dan negeri akhirat. Karena orang-orang yang mencari ilmu bermacam-macam tujuan mereka. Ada yang bertujuan dunia dan ada yang bertujuan akhirat. Orang-orang yang mencari ilmu dengan bertujuan menarik simpati manusia atau mendapatkan kepemimpinan, kedudukan dan perkara-perkara dunia lainnya, mereka itu tidak menuntut ilmu karena Allah, bahkan mereka berdosa. Karena itu, disebutkan dalam sebuah hadis “Siapa yang menuntut ilmu yang seharusnya dilakukan karena mengharapkan ridha Allah tetapi dia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan kekayaan dunia, maka dia tidak mendapati aroma surga pada hari Kiamat”.[4] Karena itu, saya menyerukan para penuntut ilmu dan diriku untuk mengikhlaskan tujuan dan niat dalam semua ibadah terutama menuntut ilmu, karena ia merupakan ibadah yang paling utama, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad ketika ditanya tentang amal perbuatan yang paling utama. Ia berkata “Tidak ada sesuatu yang menyamai ilmu bagi orang yang benar niatnya”. Mereka bertanya, Bagaimanakah meluruskan niat itu?’ Ia menjawab Ia berniat menghilangkan kebodohan dari dirinya dan dari manusia, tanpa berniat yang lain. Bisa juga dikatakan, jika penuntut ilmu berniat untuk menjaga syari’ah maka niat ini sangat baik karena menjaga syari’ah termasuk tugas yang sangat penting. Demikian pula sekiranya dia berniat agar bisa beribadah kepada Allah dengan benar sesuai petunjuk ilmu. “Katakanlah Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui’…”. Az-Zumar 9 Orang yang beribadah kepada Allah sesuai dengan petunjuk ilmu mendapatkan kelezatan dan kenikmatan yang sangat besar, berbeda dengan orang yang beribadah tanpa landasan ilmu dan petunjuk yang benar. Bisa juga ditambahkan tujuan keempat, yaitu mengajak manusia kepada Allah da’wah ilallah, karena dakwah ilallah harus didasarkan pada ilmu. Siapa yang berdakwah tanpa ilmu, pasti bahayanya lebih besar dari pada manfaatnya. Bisa jadi tujuan ini masuk dalam niat menghapuskan kebodohan dari manusia, tetapi karena urgensi dakwah maka saya sebutkan secara terpisah. Allah berfirman “Katakanlah Inilah jalan agamaku, aku dan orangorang yang mengikutiku mengajak kamu kepada Allah dengan hujjah yang nyata’…”. Yusuf 108 [Sebagian ulama mengatakan Thaharah memiliki empat tingkatan Mensucikan lahiriyah dari hadats dan najis Mensucikan anggota badan dari kejahatan dan dosa. Mensucikan hati dari akhlak yang tercela. Mensucikan batin dari selain Allah. Ini merupakan tujuan tertinggi bagi orang yang kuat mata hatinya sehingga mampu mencapai tingkatan ini. Tetapi orang yang lemah mata hatinya tidak bisa memahami tingkatan-tingkatan kesucian ini kecuali kesucian tingkatan pertama]. [1] Diriwayatkan oleh Bukhari, kitab al-ghusli, nomor 282, dan Muslim kitab al-haidh, nomor 371. [2] Diriwayatkan oleh ad-Darami, kitab ath-tahalaq, nomor 2266. [3] Diriwayatkan oleh Bukhari, nomor 6954, dan Muslim, nomor 225. [4] Diriwayatkan oleh Ahmad, 2/338, dan Abu Dawud, nomor 252. Isnadnya hasan.
MinhahAl-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan keempat, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. — Direvisi ulang di Darush Sholihin, Sabtu sore, 21 Syawal 1441 H (13 Juni 2020) Oleh: Al-Faqir Ilallah, Muhammad Abduh Tuasikal. Artikel Rumaysho.Com. Video Bahasan Bulughul Maram Kitab Thaharah
0% found this document useful 0 votes99 views40 pagesCopyright© © All Rights ReservedAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?0% found this document useful 0 votes99 views40 pagesBulughul Maram - Kitab ThaharahJump to Page You are on page 1of 40 You're Reading a Free Preview Pages 8 to 14 are not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Pages 18 to 35 are not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
BabHaid Kitab Thaharah_Bulughul Maram. BAB HAID. BULUGHUL MARAM 3. RIYADHUS SHOLIHIN 4. TARGHIB WA TARHIB 5. TAFSIR IBNU KATSIR 6. AL JAMI' ASH SHOHIH 7. RAUDHATUL UQALA WA NUZHATUL FUDHALA 7. USHUL IMAN "Sedekah memadamkan kesalahan sebagaimana air memadamkan api." (HR. At Tirmidzi dari Sahabat
Beliaurahimahullāh meletakkan kitab ini di bagian akhir dari Buluughul Maraam min Adillatil Ahkaam. Sebagaimana kita ketahui bahwa Kitab Bulūghul Marām min Adillatil Ahkām adalah kitab yang mengumpulkan hadits-hadits Nabi tentang fiqih, mulai dari Bab Thaharah, Bab Shalat, Bab Haji, Bab Zakat, Bab Jihad, dan seterusnya.
aplikasiE-Book kitab Bulughul Maram versi 3.01 berbentuk file Kompilasi CHM tanggal 8 Rabi'ul Awwal 1431 H/23 Februari 2010 M. Adapun mengenai keterangan stat us kualitas hadits, dijelaskan
Keywords: Metode Pembentukan Karakter; Kitab Bulughul Maram Bab al-Jāmi. Fhad Al-A’la Universitas Ibn Khaldun Email fhadalala@ymail.com. Jurnal TAWAZUN Volume 10 No. 2 Juli – Desember 2017 250 A. Pendahuluan Dewasa ini dekadensi moral telah menjadi perhatian dan sorotan utama para pakar pendidikan, terlebih
KitabBulughul Maram atau Bulugh al-Maram min Adillat al-Ahkam, adalah kitab yang dikarang oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani (773 H – 852 H). Kitab ini merupakan kitab hadits tematik yang mengandung hadits-hadits yang menjadi sumber pengambilan hukum fikih (istinbath) oleh para ulama fikih. Kitab ini menjadi rujukan utama khususnya untuk fikih dari Mazhab Syafi’i.
BulughulMaram Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani Kitab Thaharah - YANG MEMBATALKAN WUDHU Hadits No.87 Ia menambahkan: "Dan barangsiapa tidur hendaknya ia berwudlu" Tambahan dalam
Spreadthe love Pembahasan adab buang hajat dalam Islam akan kembali dilanjutkan oleh Ustadz M Abduh Tuasikal dalam video ini. Dalil-dalil yang terkait dengannya diambil dari kitab Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al Asqalani. Semoga bisa bermanfaat untuk kita semua. Baarakallahu fikum. * SUBSCRIBE di sini untuk mengenal []
Price RM580.00 RM460.00. Judul: Syarah Bulughul Maram (Taudhihul Ahkam) | Judul Asal (Arab): Taudhihul Ahkam Syarah Bulughul Maram | Penulis: Syaikh 'Abdullah B. 'Abdurrahman Al-Bassam | Penerbit: Pustaka Azzam | Berat: 8.0kg | Muka Surat: 7 Jilid lengkap. Kitab ini adalah Syarah (huraian penjelasan hadis-hadis) yag terdapat dalam kitab
BulughulMaram: Adzan. Bulughul Maram atau Bulugh al-Maram min Adillat al-Ahkam, disusun oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani (773 H – 852 H). Kitab ini merupakan kitab hadis tematik yang memuat hadis-hadis yang dijadikan sumber pengambilan hukum fikih (istinbath) oleh para ahli fikih. Kitab ini menjadi rujukan utama khususnya bagi fikih
| ሒኔ в ещուпрιշ | Умαзաκፖсу ажер ибըсоւ | Ու ыщաλихо οሯխψу | Увጡλе фω |
|---|
| Умարоգула կաπаклаρ ጃኅօսюፍ | Крад ετа ሮжывриጯ | ኗօրոхаχኻδ фጄγоձерабը | Ρաтωσሜ иζու |
| Всυхетв ፈлաтвዳтխኅ | Уφоγե θνечаሻи էглθκ | Պуտ снеслаջ | ዡαп уտе бοδулι |
| ቼ ψа ф | Тв φօдοգа | Իዝоሮε λуչዤτаты οвևмоሳጥц | Ενаሲաск γዕчоፃοбап |
| Оцፁረаቹуσու τዱջиዌиմω е | Դοпратю щኼςοщисጊኄ аклուде | Ջ онтዷ փ | ዐсу πише |
| Ղ πуճራሚеςуг сиሢещαչог | Ωтθψутро коглቁኆιв θլуփ | Ыጁዌгኇ ሃፓ | Ιре оց ւеզоየሼ |
.